Rabu, September 16, 2009

Rhinosinusitis

LAPORAN TUTORIAL
KELOMPOK XIV
SKENARIO 1
BLOK THT


RINOSINUSITIS
FAKTOR PREDISPOSISI, PATOFISIOLOGI SERTA KOMPLIKASINYA

 

 



















 
Disusun oleh :

 

  • Chairunnisa Puji H. (G0007050)

  • Christiana Yayi (G0007052)

  • David Anggara P. (G0007054)

  • Dyah Ayu Saputri (G0007056)

  • Dianika Rohmah (G0007058)

  • Tri Budi L. (G0007164)

  • Tri Suci R. (G0007166)

  • Umam Fazlurahman (G0007168)

  • Vita Pramatasari (G0007170)

  • Wiraditya Sandi (G0007172)

  • Yovan Indra BP (G0007174)

 

 

 

 

 

 
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2009
BAB I
PENDAHULUAN

 


  1. Latar Belakang Masalah
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri.
Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intracranial serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.
Beberapa penelitian menunjukan ada hubungan antara kejadian rhinitis alergi dan sinusitis. Pelikan-pelikan melaporkan provokasi allergen pada hidung 37 pasien rinosinisitis kronik, 29 pasien menunjukan respon gejala hidung dan sinus seperti rasa tertekan dan otalgia, serta 32 pasie menunjukan perubahan radiologis sinus.

 

  1. Analisis Masalah

    1. Bagaimana anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal?

    2. Bagaimana perjalanan penyakit pasien berdasarkan scenario?

    3. Bagaimana patofisiologi dari gejala-gejala pada skenario?

    4. Pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan?

    5. Terapi apa yang tepat diberikan pada pasien dengan gejala seperti pada scenario?

 

  1. Tujuan Penulisan

    1. Memahami anatomi serta fisiologi hidung serta sinus paranasal.

    2. Memahami perjalanan penyakit pasien.

    3. Patofisiologi gejala-gejala yang muncul pada penyakit rinosinusitis

    4. Dapat menegakkan diagnosis serta memberikan terapi yang tepat.

 

  1. Manfaat Penulisan
Setelah menyelesaikan Blok Ilmu Kesehatan THT-KL mahasiswa diharapkan mampu menunjukan pengetahuan mengenai penyakit THT-KL, mampu memutuskan apakah penderita akan ditangani sendiri atau di-'refer' ke spesialis yang relevan dan bila memutuskan akan ditangani sendiri akan mampu menunjukan pengetahuan mengenai pelaksanaannya.

 

 

 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Sinus adalah ruang di kepala yang terutama penuh dengan udara.Fungsi pasti mereka tidak jelas. Mereka berhenti kepala kami karena terlalu berat dan mungkin memainkan peran dalam membantu kita mendengar lebih jelas.
Ada empat sinus: frontal, berkenaan dgn rahang atas, ethmoid dan sphenoid. Frontalis sinus di atas mata kita; yang berkenaan dgn rahang atas sinus yang terletak di bawah mata di kedua sisi hidungnya; ethmoid sinus yang berada di balik mata di kedua sisi hidung rongga; dan sinus sphenoidal di tengah kepala, tepat di belakang sinus ethmoid. Setiap sinus memiliki bukaan sempit atau tabung menghubungkannya ke bagian belakang hidung.
Selaput sinus menghasilkan cairan bening - lendir - yang terus-menerus membersihkan mereka dari bahan yang tidak diinginkan. Cairan ini melewati saluran drainase ke bagian belakang hidung dan tenggorokan, dari mana ia menelan ludah. Ini terjadi terus-menerus, meskipun kita biasanya tidak menyadarinya. Ketika kelebihan cairan yang dihasilkan itu sering dikenal sebagai dahak, atau penyakit selesema. Ini dapat menghasilkan iritasi yang kronis di tenggorokan dikenal dengan nama glamor post-nasal drip.

 
Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

  1. Fungsi Respirasi
    Udara inspirasi yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Misalnya, pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin sebaliknya.
    Suhu udara yang melalui hidung diatur hingga berkisar 37°C. Hal ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
    Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh : a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir. Dengan gerakan silia ke arah anterior posterior, material yang tidak dibutuhkan yang telah menempel pada palut lendir akan dibawa ke oropharynx. (THT UI)

     

  2. Fungsi Penghidu
    Bagian sel olfaktori yang memberi respons terhadap rangsangan kimia olfaktori adalah silia. Substansi yang berbau mula-mula menyebar difus pada mucus yang menutupi silia. Aktivasi reseptor oleh bau dapat mengaktivasi kompleks protein-G. Hal ini kemudian mengaktivasi banyak molekul adenilil siklase di dalam membrane sel olfaktori, yang kemudian menyebabkan pembentukan banyak molekul cAMP sampai berkali-kali. Dan akhirnya, cAMP membuka saluran ion Natrium yang masih banyak tersisa. Pembukaan saluran ion tersebut menyebabkan depolarisasi sel sehingga terbentuk potensial aksi yang segera dibawa ke susunan saraf pusat untuk diartikan.
    Syarat substansi yang dapat merangsang sel-sel olfaktori antara lain mudah menguap, harus bersifat larut dalam air, dan sedikit sekali larut dalam lemak. (Guyton)

     

     

     

  3. Fungsi Fonetik
    Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi, Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). (THT UI)

  4. Refleks Nasal
    Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas. (THT UI)
SINUSITIS

DEFINISI
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis).

 
PATOFISIOLOGI
Penyebab paling umum dari sinusitis akut adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas yang disebabkan virus. Infeksi virus dapat menyebabkan radang pada sinus yang biasanya sembuh tanpa perawatan dalam waktu kurang dari 14 hari. Jika gejala memburuk setelah 3 sampai 5 hari atau bertahan selama lebih dari 10 hari dan lebih parah daripada biasanya dengan infeksi virus, maka pasien didiagnosis dengan infeksi bakteri sekunder. Peradangan mungkin merupakan faktor predisposisi perkembangan sinusitis akut dengan menyebabkan penyumbatan ostium sinus. Meskipun peradangan pada sinus apapun dapat mengakibatkan blokade ostium sinus, yang paling sering terlibat dalam sinusitis akut dan sinusitis kronis adalah sinus maksilaris dan ethmoidalis anterior.  Sinus ethmoidalis anterior, frontalis, dan sinus maksilaris mengalir ke tengah meatus, menciptakan daerah anatomi yang dikenal sebagai "ostiomeatal kompleks".
Mukosa hidung merespon infeksi virus dengan menghasilkan lendir dan merekrut mediator peradangan, seperti sel-sel darah putih, pada lapisan hidung, yang menyebabkan kemacetan dan inflamasi pada saluran pernapasan. Akhirnya mengakibatkan hipoksia sinus dan retensi lendir menyebabkan silia berfungsi kurang efisien, dan menciptakan suatu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Jika sinusitis akut tidak dapat disembuhkan, sinusitis kronis dapat berkembang dari retensi lendir, hipoksia, dan blokade dari ostium. Hal ini meningkatkan hiperplasia mukosa, melanjutkan perekrutan infiltrat peradangan, dan pengembangan potensi polip hidung. Ketika pertumbuhan bakteri terjadi pada sinusitis akut, organisme yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Dalam sinusitis kronis, organisme ini, ditambah Staphylococcus aureus, Staphylococcus spesies coagulase-negatif, dan bakteri anaerob, adalah organisme yang paling mungkin terlibat. Resistensi antibiotik ditunjukkan oleh organisme yang diisolasi dari pasien dengan sinusitis kronis. Bahkan, tingkat resistensi penisilin S. pneumoniae adalah setinggi 44% di Amerika Serikat. Organisme resisten ini umumnya terjadi pada pasien yang telah menerima dua atau lebih antibiotik.

 
ETIOLOGI
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun).

  • Penyebab sinusitis akut:

    • Infeksi virus.
      Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas (misalnya pilek).

    • Infeksi bakteri.
      Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.

    • Infeksi jamur.
      Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan sistem kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.

    • Peradangan menahun pada saluran hidung.
      Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya pada penderita rinitis vasomotor.

       

    • Penyakit tertentu.
      Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).

 

  • Penyebab sinusitis kronis:

    • Asma

    • Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)

    • Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.

 
GEJALA
Gejala khas dari kelainan pada sinus adalah sakit kepala yang dirasakan ketika penderita bangun pada pagi hari. Sinusitis akut dan kronis memiliki gejala yang sama, yaitu nyeri tekan dan pembengkakan pada sinus yang terkena, tetapi ada gejala tertentu yang timbul berdasarkan sinus yang terkena:

  • Sinusitis maksilaris menyebabkan nyeri pipi tepat di bawah mata, sakit gigi dan sakit kepala.

  • Sinusitis frontalis menyebabkan sakit kepala di dahi.

  • Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.

  • Sinusitis sphenoidalis menyebabkan nyeri yang lokasinya tidak dapat dipastikan dan bisa dirasakan di puncak kepala bagian depan ataupun belakang, atau kadang menyebabkan sakit telinga dan sakit leher.

 
Gejala lainnya adalah:

  • tidak enak badan

  • demam

  • letih, lesu

  • batuk, yang mungkin semakin memburuk pada malam hari

  • hidung meler atau hidung tersumbat.
Demam dan menggigil menunjukkan bahwa infeksi telah menyebar ke luar sinus. Selaput lendir hidung tampak merah dan membengkak, dari hidung mungkin keluar nanah berwarna kuning atau hijau.

 
Sinusitis & Gangguan Sistem Kekebalan
Pada penderita diabetes yang tidak terkontrol atau penderita gangguan sistem kekebalan, jamur bisa menyebabkan sinusitis yang berat dan bahkan berakibat fatal. Mukormikosis (fikomikosis) adalah suatu infeksi jamur yang bisa terjadi pada penderita diabetes yang tidak terkontrol.
Pada rongga hidung terdapat jaringan mati yang berwarna hitam dan menyumbat aliran darah ke otak sehingga terjadi gejala-gejala neurologis (misalnya sakit kepala dan kebutaan). Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap jaringan yang mati tersebut. Pengobatannya meliputi pengendalian diabetes dan pemberian obat anti-jamur amfoterisin B secara intravena (melalui pembuluh darah).
Aspergillosis dan kandidiasis merupakan infeksi jamur pada sinus yang bisa berakibat fatal pada penderita gangguan sistem kekebalan akibat terapi anti-kanker atau penyakit (misalnya leukemia, limfoma, mieloma multipel atau AIDS).
Pada aspergillosis, di dalam hidung dan sinus terbentuk polip. Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap polip. Pengobatannya berupa pembedahan sinus dan pemberian amfoterisin B intravena.

 
DIAGNOSA
Diganosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, foto rontgen sinus dan hasil pemeriksaan fisik. Untuk menentukan luas dan beratnya sinusitis, bisa dilakukan pemeriksaan CT scan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya abses gigi.

 
DIAGNOSA BANDING
Diagnosis sinusitis akut meliputi rinitis akut (common cold) dan Neuralgia trigeminal.

 
PENGOBATAN

  • Sinusitis akut
    Untuk sinusitis akut biasanya diberikan:

    • Dekongestan untuk mengurangi penyumbatan

    • Antibiotik untuk mengendalikan infeksi bakteri

    • Obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa nyeri.
    Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot hidung hanya boleh dipakai selama waktu yang terbatas (karena pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan penyumbatan dan pembengkakan pada saluran hidung). Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan peradangan bisa diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid.

 

  • Sinusitis kronis
    Diberikan antibiotik dan dekongestan<.
    Untuk mengurangi peradangan biasanya diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid. Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral (melalui mulut).

 
Hal-hal berikut bisa dilakukan untuk mengurangi rasa tidak nyaman:

  • Menghirup uap dari sebuah vaporizer atau semangkuk air panas

  • Obat semprot hidung yang mengandung larutan garam

  • Kompres hangat di daerah sinus yang terkena.

 
Jika tidak dapat diatasi dengan pengobatan tersebut, maka satu-satunya jalan untuk mengobati sinusitis kronis adalah pembedahan. Pada anak-anak, keadaannya seringkali membaik setelah dilakukan pengangkatan adenoid yang menyumbat saluran sinus ke hidung. Pada penderita dewasa yang juga memiliki penyakit alergi kadang ditemukan polip pada hidungnya. Polip sebaiknya diangkat sehingga saluran udara terbuka dan gejala sinus berkurang. Teknik pembedahan yang sekarang ini banyak dilakukan adalah pembedahan sinus endoskopik fungsional.

 
RINITIS ALERGI
Definisi : kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat, serta mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh Ig E(WHO ARIA, 2001).
Gejala klinik rinitis alergi (Al-Fatih, 2007):

  • Bersin patologis. Bersin yang berulang lebih 5 kali setiap serangan bersin.

  • Rinore. Ingus yang keluar.

  • Gangguan hidung. Hidung gatal dan rasa tersumbat. Hidung rasa tersumbat merupakan gejala rinitis alergi yang paling sering kita temukan pada pasien anak-anak.

  • Gangguan mata. Mata gatal dan mengeluarkan air mata (lakrimasi).

  • Allergic shiner. Perasaan anak bahwa ada bayangan gelap di daerah bawah mata akibat stasis vena sekunder. Stasis vena ini disebabkan obstruksi hidung.

  • Allergic salute. Perilaku anak yang suka menggosok-gosok hidungnya akibat rasa gatal.

  • Allergic crease. Tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian bawah akibat kebiasaan menggosok hidung.

 
Patofisiologi
(Irawati,2007):
rinitis alergi diawali dengan sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi. Reaksi alergi memiliki 2 fase, yaitu reksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlngsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan rekasi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
    Kontak pertama dengan alergen (taap sensitisasi), makrofag atau monosit (sel penyaji) menangkap alergen yang ada dipermukaan hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II, membentuk kompleks MHC kelas II yang diprentasikan pada T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan akan melepaskan sitokin seperti IL1, yang akan mengaktifkan Th 0 menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin. IL 4 dan IL 3 dapat diikat oleh reseptornya di pemukaan sel limfosit B, sehingga limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi akan di ikat oleh reseptornya de permukaan sel mastosit atau basofil, sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi sehingga menghasilkan sel mediator yang tersenstisasi. Bila mukosa yang telah tersentitasi terpapar oleh alergen yang sama, kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik sehingga terjadi degranulasi sel mediator dan menghasilkan histamin. Histamin akan merangsang saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapier meningkat sehingga terjadi rinore. Hidung tersubat karena vasodilatasi sinusoid.
    Sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemoaktik sehingga terjadi akumulasi eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon akan terus berlanjut hingga mencapai puncak dalam waktu 6-8 jam.
    Pada RAFL, ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi serta peningkatan sitokin dan ICAM 1 pada sekret hidung. Terjadinya gejala hiperreaktif atau hiperresponsif pada hidung adalah akibat eosinofil dan mediator inflamasi pada granulanya.

 
Klasifikasi((Irawati,2007))
Berdasarkan sifat berlangsungnya (WHO ARIA, 2001):

  1. inermitten (kadang-kadang)    : bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu atau kurang dari 4 minggu.

  2. persisten atau menetap    : bila gejala lebih dari 4 hari/ minggu dan lebih dari 4 minggu

 
Diagnosis (Irawati,2007):
Anamnesis    : menanyakan riwayat penyakit aergi dalam keluarga, gangguan alergi lain selain yang menyerang hidung, saat- saat dimana gejala sering timbul, awitan gejala dengan prubahan lingkungan di tempat kerja atau lingkungan, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat alergi terhadap makanan.
Pemeriksaan hidung    : mukosa hidung basah, pucat, berwarna merah jambu keabuan. Konka membengkak. Jika terdapat infeksi penyerta, sekret bervariasi muai dariencer dan mukoid hingga kental dan purulen. Mukosa menjadi hiperems, meradang, terbendung, atau bahkan kering sama sekali. Polip dapat timbul pada anthrum maksilaris dan regio ethmoidalis, meluas ke dalam meatus superior dan media.
Apusan hidung    : apusan biasanya diambi dari bawa konka inferior dan difiksasi dengan cepat.
Uji klinis alergi    : uji diet, uji in vitro, uji alergosorben.

 
Terapi Rinitis Alergi(Al-Fatih, 2007)
Hindari kontak & eliminasi. Keduanya merupakan terapi paling ideal. Hindari kontak dengan alergen penyebab (avoidance). Eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan).
Simptomatik. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, dekongestan dan kortikosteroid.
Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
Imunoterapi. Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi ingestan.

 
DEVIASI SEPTUM NASAL

Trauma hidung banyak terjadi akibat kecelakaan yang bersifat tumpul, sehingga beresiko mengakibatkan berbagai macam komplikasi misalnya infeksi, obstruksi hidung, jaringan parut dan fibrosis, deformitas sekunder, sinekia, hidung pelana, obstruksi duktus nasoolakrimalis, dan perforasi hidung. Berdasarkan waktu, trauma hidung terbagi atas trauma baru, dimana kalus belum terbentuk sempurna; dan trauma lama, bila kalus sudah mengeras. Berdasarkan hubungan dengan telinga luar, ada yang disebut trauma terbuka dan trauma tertutup. Arah trauma menentukan kerusakan yang terjadi, misalnya bila trauma datang dari lateral, akan terjadi fraktur tulang hidung ipsilateral jika ringan, sedangkan trauma yang berat akan menyebabkan deviasi septum nasi dan fraktur tulang hidung kontralateral.
Septum hidung merupakan bagian dari hidung yang membatasi rongga hidung kanan dan kiri. Septum nasi berfungsi sebagai penopang batang hidung (dorsum nasi). Septum nasi dibagi atas dua daerah anatomi antara lain bagian anterior, yang tersusun dari tulang rawan quadrangularis; dan bagian posterior, yang tersusun dari lamina perpendikularis os ethmoidalis dan vomer.
Dalam keadaan normal, septum nasi berada lurus di tengah tetapi pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum dapat menyebabkan obstruksi hidung jika deviasi yang terjadi berat. Kecelakaan pada wajah merupakan faktor penyebab deviasi septum terbesar pada orang dewasa.
Gejala yang paling sering timbul dari deviasi septum ialah kesulitan bernapas melalui hidung. Kesulitan bernapas biasanya pada satu hidung, kadang juga pada hidung yang berlawanan. Pada beberapa kasus, deviasi septum juga dapat mengakibatkan drainase sekret sinus terhambat sehingga dapat menyebabkan sinusitis.
Pada kasus di bawah ini, deviasi septum yang terjadi akibat trauma tumpul dan gejala yang dialami pasien masih ringan sehingga pengobatan yang diberikan hanya berupa simptomatik.

 
DEFINISI
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu:

  1. Tipe I; benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.

  2. Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.

  3. Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah).

  4. Tipe IV, "S" septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).

  5. Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal.

  6. Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.

  7. Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

 
Bentuk-bentuk dari defor-mitas hidung ialah deviasi, biasanya berbentuk C atau S; dislokasi, bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung; penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina; sinekia, bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya.

 
ETIOLOGI
Penyebab deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma sesudah lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.

 
DIAGNOSIS
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal.
Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi. Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.

 
PENATALAKSANAAN

  • Analgesik. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit.

  • Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.

  • Pembedahan.

  • Septoplasti.

  • SMR (Sub-Mucous Resection).

 
KOMPLIKASI
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip.

 

 

 
BAB III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan utama pipi kanan terasa penuh, hidung buntu, dan terdapat massa di belakang hidung kanan yang tidak berdarah. Gejala yang dilaporkan oleh pasien sangat mendukung ke arah polip nasi. Polip pada pasien disebut koana (polip antrum koana) adalah polip yang besar dalam nasofaring dan berasal dari antrum sinus maksila. Polip ini keluar melalui ostium sinus maksila dan ostium asesorisnya lalu masuk ke dalam rongga hidung kemudian lanjut ke koana dan membesar dalam nasofaring.
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak. Pada anak – anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain
:

  1. Alergi terutama rinitis alergi.

  2. Sinusitis kronik.

  3. Iritasi.

  4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah meatus medius. Edema disebabkan karena proses inflamasi yang dapat disebabkan oleh sinusitis kronis maupun rhinitis alergi. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoidalis. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.
Pemeriksaan fisik pada pasien mendukung kearah adanya polip pada daerah nasopharyng hingga oropharyng. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya massa soliter dengan permukaan halus dan warna keabu-abuan pada pemeriksaan rhinoskopi posterior (pemeriksaan tenggorok yang mem-visualisasi nasopharyng).

 
gambar rhinoskopi posterior

 
Pasien dalam skenario memiliki kedua faktor risiko untuk polip nasi, yaitu sinusitis dan rhinitis. Gejala sinusitis yang ditunjukkan pasien adalah adanya pipi kanan yang terasa penuh. Perasaan mencium bau yang busuk kemungkinan disebabkan karena adanya pus yang dihasilkan dari infeksi bakteri yang memiliki bau yang busuk (fishy odor) keluar dari sinus ke darah nasopharyng. Dari pemeriksaan radiologis, adanya pengkabutan pada sinus maksilaris mendukung adanya cairan dalam sinus. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan hasil peningkatan angka leukosit dan laju endap darah. Kedua hal tersebut dapat terjadi pada pasien yang sedang mengalami infeksi, dalam hal ini sinusitis. Untuk analisis lebih lanjut, seharusnya dokter meneliti komponen leukosit mana yang lebih dominan. Jika neutrofil lebih dominan, maka kecurigaan kita akan mengarah pada infeksi bakterial, dan apabila limfosit yang dominan, maka kecurigaan mengarah kepada infeksi viral. Hasil kultur yang menyebutkan bahwa ditemukan Staphylococcus aureus, semakin menguatkan kecurigaan adanya infeksi bakterial pada pasien.
Rhinitis yang juga merupakan salah satu faktor risiko polip nasi pernah diderita pasien. Keluhan sering bersin-bersin hanya pada pagi hari (yang relatif lebih dingin daripada siang hari) dan menghilang pada siang hari, mengarahkan kecurigaan kita ke rhinitis alergi. Temuan laboratorium yang menunjukkan adanya eosinophilia membantu kita untuk semakin mengarahkan kecurigaan ke arah rhinitis alergi.
Polip didiagnosabandingkan dengan konka polipoid, yang ciri – cirinya sebagai berikut :

  • Tidak bertangkai

  • Sukar digerakkan

  • Nyeri bila ditekan dengan pinset

  • Mudah berdarah

  • Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati – hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung lainnya. Penatalaksanaan untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid :

  • Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off).

  • Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap 5 – 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.

  • Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan drenase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan.
Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah pemberian dekongestan dan anestesi lokal. Pada kasus polip yang berulang – ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada dua cara, yakni :

  1. Intranasal

  2. Ekstranasal
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan
kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi.
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

 

 

 

 

 

 

 
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Dari hasil peninjauan pustaka serta diskusi pembahasan kelompok dapat disimpulkan bahwa pasien pada scenario mempunyai riwayat rhinitis alergi kemudian berlanjut menjadi sinusitis. Adanya dua factor tersebut memberikan efek pada munculnya polip nasi sehingga juga akan berakibat pada kelainan di telinga. Dalam diskusi juga telah disebutkan bahwa terapi untuk kasus diatas selain mengobati secara simptomatif juga perlu terapi kausatif supaya tidak terjadi kekambuhan.

 
Saran
Pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan komponen leukosit mana yang lebih dominan untuk mengarahkan dokter pada infeksi bacterial ataupun viral. Penegakan diagnosis yang tepat dan cepat diimbangi dengan pemberian terapi medikamentosa mempengaruhi prognosis dari kasus seperti pada skenario
DAFTAR PUSTAKA

 
Anonim.2006. http://www.obstructednose.com/nasal_treatment_deviated_septum.html.
Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. 1989. Buku Ajar Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia
Balasubramanian, T. 2006. Deviated Nasal Septum. Accessed: http://drtbalu.com/dns.html.
Ballenger, John Jacob. 1991. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and Neck. Lea & Febiger 14th edition. Philadelphia
Chmielik, Lechosław P. 2006. Nasal septum deviation and conductivity hearing loss in children. Borgis - New Medicine 3/2006, p. 82-86. accessed: http://www.newmedicine.pl/show.php?ktory=22.
Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 – 114. 2000. Penerbit Media Aesculapius FK-UI
Kartika, Henny. 2007. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal. Accessed: http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/anatomi-hidung-dan-sinus-paranasal.
Mangunkusumo, Endang. Nizar, N.W. 2006. Kelainan Septum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Telinga-Hidung-Tenggorokan, hal.99. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Novak, V .J. 1995. Pathogenesis and surgical treatment of neurovascular primary headaches. The italian journal of Neurological Sciens. Accessed: http://www.vj-novak.ch/images/novak1-1.jpg.
Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta

 

 

 

 

 

2 komentar:

  1. Mau Share Ya. Propolis bisa menjadi solusi kesehatan untuk berbagai penyakit, termasuk
    Sinusitis
    ,yang bekerja secara holistik. Propolis adalah zat yang dihasilkan oleh lebah sebagai obat dan pencegahan penyakit (Hampir semua kitab suci menulis tentang lebah, Q.S. An Nahl Ayat 68 & 69). Info tentang propolis dapat kunjungi obatpropolis.com
    semoga bermanfaat

    BalasHapus
  2. artikel yang sangat menarik dan bermanfaat, makasih banyak...

    http://www.tokoobatku.com/obat-herbal-penyakit-sinusitis/

    BalasHapus